Powered By Blogger

Minggu, 07 Desember 2014

Kasus Penyimpangan Manajemen Operasi


Kasus-kasus Penyimpangan Manajemen Operasi di Indonesia


Penyimpangan PT MNA Dilaporkan ke Meneg BUMN


JAKARTA, (PRLM).- Hasil investigasi Komisi VI DPR RI (Panja) terhadap PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) diserahkan kepada Menteri Negara BUMN. Banyak fakta terungkap dalam laporan tersebut. Rapat kerja dengan Meneg BUMN Dahlan Iskan, Senin (7/7/2014), sempat diskors beberapa menit, karena ada fraksi yang menyatakan tidak setuju dengan isi laporan Panja tersebut.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua Komisi VI Erik Satria Wardhana akhirnya menyerahkan laporan tersebut kepada Meneg BUMN tanpa dibacakan. F-PDI Perjuangan, F-PAN, dan F-PPP menyatakan walkout dari ruang rapat dan tidak bertanggung jawab atas pengambilan keputusan soal Merpati.
Laporan Panja Komisi VI tersebut berisi fakta dan temuan penyimpangan di internal maupun eksternal yang dilakukan manajemen PT. Merpati Nusantara Airlines. Penyimpangan internal yang terungkap, misalnya, soal pengangkatan Haryo P Surjokusumo sebagai direktur produksi dengan menggunakan titel captain penerbang. Padahal, status tersebut tidak dapat dibuktikan. Bahkan, sejak Oktober sampai kini, yang bersangkutan tidak diketahui lagi keberadaannya.
Penyimpangan lainnya soal pengangkatan direktur niaga, direktur teknik, dan direktur operasi dengan menggunakan istilah associate directors tidak sesuai dengan aturan yang berlaku. Koordinasi antardireksi juga dinilai lemah. Selain itu, manajemen Merpati tidak mengontrol dan tidak mengetahui secara tepat asset bernilai tinggi di Merpati.
Sementara temuan eksternal yang bermasalah adalah penyewaan mesin CFM56-3 (Boeing 737) ke pihak Trigana tanpa persetujuan dari direksi. Penyewaan hanggar ke Lion Air dengan nilai di bawah pengaturan tarif hanggar. Pesawat sekelas ATR yang terparkir per pesawat per hari menurut SKEP adalah 330 dolar AS. Sementara manajemen menyewakannya seharga Rp1.500.000. Begitu pula pesawat sekelas boeing disewakan hanggarnya Rp1.500.000. Padahal, mestinya 660 dolar AS. (Sjafri Ali/A-88)***

 

Kasus L/C BNI dan Kepercayaan terhadap Perbankan


Sabtu, 8 November 2003
SEBELUM masa buram perbankan Indonesia berakhir saat ini, dunia perbankan Indonesia kembali digegerkan oleh kasus pembobolan melalui penerbitan surat kredit (letter of credit) atau L/C fiktif senilai Rp 1,7 triliun di bank BNI.
Sayangnya, pembobolan itu terjadi pada bank besar yang selama ini dianggap sebagai salah satu barometer dan sekaligus bank terbesar kedua di Indonesia. Beruntung kasus tersebut segera mendapat penanganan serius dari penegak hukum. Sebab, apabila tidak demikian, pasti kasus itu akan menciptakan ketidakpercayaan baru terhadap dunia perbankan. Kita berharap penanganan hukum kasus ini berjalan dengan lancar, tidak sebagaimana kasus-kasus perbankan sebelumnya.
Tentunya kita masih belum lupa, ketika kasus Bappindo akhirnya tidak jelas penanganannya hanya karena melibatkan petinggi negara. Kasus L/C fiktif BNI inipun belakangan ini disebut-sebut melibatkan capres dari salah satu partai besar di negeri ini. Semoga; apabila isu tersebut benar, tidak menjadi penghalang untuk menyingkap penyelewengan di BNI tersebut.
Risiko Manajemen
Dari aspek mikro dan mekanisme perbankan, kasus pembobolan L/C BNI tersebut, memberikan pelajaran dan peringatan yang sangat berharga akan pentingnya manajemen risiko. Mengikuti kasus pembobolan L/C pada bank BNI tersebut, penyimpangan yang terjadi karena lemahnya manajemen risiko operasional (operational risk management). Risiko operasional ini dapat terjadi karena tidak berfungsi atau kurang efektifnya proses internal. Penyimpangan demikian dapat terjadi karena kesalahan manusia, kegagalan sistem atau karena faktor eksternal yang memengaruhi perusahaan.
Oleh karena itu, risiko operasional ini bersumber dari pekerja, teknologi, customer relationship, atau faktor eksternal.
Kasus yang terjadi pada BNI tersebut merupakan kasus yang termasuk dalam kriminal dan penipuan (crime and fraud risk). Dengan demikian risiko yang terjadi adalah risiko karena adanya kejahatan kerah putih (white collar crime). Artinya, kejahatan tersebut lebih dikarenakan ketamakan dari watak manusia. Karena ini merupakan murni kejahatan karena perilaku, seharusnya ada indikator-indikator awal sudah harus bisa dideteksi. Peringatan dini akan efektif kalau sistem pengendalian risiko pada bank yang bersangkutan berjalan baik.
Peringatan dini ini dapat dilakukan dengan melihat apakah mekanisme dan prosedur yang dilakukan sudah sesuai dengan ketentuan. Sementara dari aspek eksternal verifikasi terhadap material prosedur juga harus dilakukan.
Dalam kasus pembobolan L/C tersebut, semestinya kejanggalan-kejanggalan awal sudah bisa dideteksi kalau niat menipu dari mereka yang terkait dalam kasus ini memang tidak ada. Dimulai dari bank penerbit L/C, yang adalah bukan bank koresponden. Semestinya pejabat BNI setempat mengetahui bahwa perlu jaminan yang lebih jelas; siapa penjamin L/C tersebut, untuk membayar L/C jika bank penerbit L/C bukan bank koresponden. Apakah dalam hal ini bank BNI tidak mengetahui tidak adanya jaminan atas L/C yang diterbitkan tersebut. Apakah bank BNI juga melakukan verifikasi atas dokumen ekspor dari eksportir dengan benar. Apakah dokumen-dokumen ekspor tersebut relevan dan valid. Jika ternyata dokumen tersebut nantinya ternyata dokumen ekspor palsu, semestinya pihak bank mengetahuinya.
Adanya kecenderungan niat untuk menipu seharusnya juga dapat dilihat dari nilai L/C yang dipecah-pecah menjadi lebih kecil dari nilai seluruhnya sekitar Rp 1,7 triliun. Dengan nilai yang lebih kecil, maka otorisasi pencairan uang tidak harus sampai ke pejabat pada tingkat yang lebih tinggi dari pimpinan cabang. Namun hal inipun tidak berarti direksi juga tidak mengetahui.
Dari serangkaian prosedur tersebut, tampak bahwa kebobolan akan terjadi setelah melalui penyimpangan-penyimpangan prosedur dalam proses pencairan pengajuan, pemrosesan dan pencairan L/C. Ketatnya prosedur, seharusnya akan dapat memperkecil risiko operasional. Akan tetapi, seketat apapun prosedur itu, ia akan tetap bobol jika niat untuk menipu itu memang cukup besar dari para pelaku yang terlibat dalam prosedur dan mekanisme itu.
Kerisauan Baru
Kasus BNI telah menciptakan kerisauan baru, khususnya terhadap kepercayaan terhadap perbankan. Sementara BPPN belum mampu memulihkan kepercayaan sepenuhnya dunia perbankan, orang bisa menjadi ragu mengingat BNI yang masuk kategori sebagai salah satu barometer perbankan nasional pun masih bobol.
Oleh karena itu kasus BNI ini harus dituntaskan. Jangan sampai kasus itu berhenti tanpa penyelesaian karena pertaruhannya sangat besar, yakni menjaga kepercayaan terhadap perbankan. Membiarkan kasus pembobolan L/C berarti membiarkan ketidakpercayaan terhadap perbankan terus berkelanjutan. Dan jangan lupa, nyawa indusri perbankan adalah kepercayaan nasabah terhadapnya. (82)
Penulis, Ketua Laboratorium Studi Kebijakan Ekonomi FE Undip

Terkait Sengketa dengan Nasabah, Komisi XI Panggil Manajemen Lima Bank


10 July 2013 16:23 WIB
Beberapa kasus perbankan di Tanah Air coba ditanggapi serius oleh Komisi XI DPR-RI, dengan memanggil manajemen dari lima bank yang kasus atau sengketanya masih diproses atau belum selesai. Paulus Yoga
Jakarta–Komisi XI DPR-RI memanggil manajemen lima bank terkait dengan kasus-kasus perbankan yang menyebabkan sengketa antara bank dan nasabah, dan sudaxh masuk ke proses pengadilan.
Hadir dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 10 Juli 2013, antara lain, Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib, Direktur Utama BJB Bien Subiantoro, Direktur Utama Bank Mestika Ahmad Kartasasmita, Direktur Kepatuhan Bank Danamon Fransisca Oei, dan Direktur HRD Bank Permata Indri K. Hidayat. Tidak ketinggalan, DPR turut memanggil Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah.
“Kalau ternyata satu kasus terkait dengan kesalahan pihak bank dan nasabah, kita lihat lagi siapa inisiator dan siapa yang dapat manfaat. Kami hanya lihat administratif, kalau soal pidana ke pengadilan,” tukas Halim Alamsyah.
Sementara untuk perdata, lanjutnya, bank sentral menyediakan sarana mediasi, termasuk untuk kasus Bank Danamon yang sudah masuk mediasi BI namun belum tercapai kesepakatan di antara kedua belah pihak yang bersengketa.
Dalam mediasi ini, BI hanya bertindak sebagai mediator. Adapun untuk bisa masuk dalam mediasi BI, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi dari sebuah sengketa bank dengan nasabah, di antaranya pernah diupayakan penyelesaiannya oleh bank, sengketa yang diajukan tidak sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau peradilan, atau belum terdapat kesepakatan, nilai tuntutan finansial yang diajukan paling banyak sebesar Rp500 juta untuk setiap kasus sengketa, pun tidak mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immateriil.
“Khusus Bank Mega ini agak rumit karena keputusan pidana sudah ada, pegawai Bank Mega dan pegawai Elnusa dan Pemkab Batubara semua dinyatakan bersalah. Tapi dari sisi perdata di pengadilan negeri dan tinggi, Elnusa dimenangkan di pengadilan. Kami tidak bisa intervensi,” ucap Halim.
Direktur Kepatuhan Bank Danamon Fransisca Oei menjelaskan, bahwa hilangnya dana nasabah yang disimpan di Bank Danamon cabang Depok sehubungan dengan transaksi transfer dengan menggunakan PIN (Personal Identification Number) sejumlah Rp43,9 juta.
“Mengingat PIN sifatnya sangat rahasia serta personal, maka diingatkan agar nasabah menjaga kerahasiaan PIN dan hal ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah. Segala kerugian dan risiko yang timbul akibat kelalaian nasabah dalam merahasiakan PIN sepenuhnya menjadi beban dan tanggung jawab nasabah,” tukasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR RI Harry Azhar Azis mengatakan, RDP tersebut membahas secara khusus mengenai kasus-kasus perbankan yang sampai saat ini masih dalam penanganan lebih lajut oleh Pengadilan. “Ini memang kita menyelidiki empat kasus perbankan,” ujarnya kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kasus-kasus tersebut masih dalam proses penyelesaian, walaupun sudah tidak lagi ditangani oleh BI melainkan sudah menempuh jalur hukum dan tidak mengganggu operasional masing-masing bank. Namun, ia menekankan bahwa kondisi perbankan nasional saat ini masih sehat, yang terlihat dengan tidak adanya bank yang masuk dalam pengawasan khusus.
Kasus-kasus perbankan yang sempat dibahas dalam RDP tersebut antara lain, Kasus Bank Mega dengan Elnusa dengan sengketa dana Rp111 miliar, pun kasus pembobolan uang milik Pemkab Batubara Sumatera Utara sebesar Rp80 miliar yang raib di bank milik Chairul Tanjung tersebut.
“Bank Mega sangat concern dengan perlindyngan konsumen, kalau ada fraud di mana nasabah tidak terlibat tentu kami ganti, tapi di sini beda, bahwa semua terlibat dan sudah dihukum. Sudah di-lock di BI (escrow account) yang bisa dicairkan kalau sudah ada keputusan hukum, atau kesepakatan kedua belah pihak,” jelas Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib. (*)
Sumber : http://www.infobanknews.com/2013/07/terkait-sengketa-dengan-nasabah-komisi-xi-panggil-manajemen-lima-bank/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar