Kasus-kasus Penyimpangan Manajemen Operasi di Indonesia
Penyimpangan PT MNA Dilaporkan ke Meneg BUMN
Senin, 07/07/2014 - 18:34
JAKARTA, (PRLM).- Hasil
investigasi Komisi VI DPR RI (Panja) terhadap PT Merpati Nusantara Airlines
(MNA) diserahkan kepada Menteri Negara BUMN. Banyak fakta terungkap dalam
laporan tersebut. Rapat kerja dengan Meneg BUMN Dahlan Iskan, Senin (7/7/2014),
sempat diskors beberapa menit, karena ada fraksi yang menyatakan tidak setuju
dengan isi laporan Panja tersebut.
Rapat yang dipimpin Wakil Ketua
Komisi VI Erik Satria Wardhana akhirnya menyerahkan laporan tersebut kepada
Meneg BUMN tanpa dibacakan. F-PDI Perjuangan, F-PAN, dan F-PPP menyatakan
walkout dari ruang rapat dan tidak bertanggung jawab atas pengambilan keputusan
soal Merpati.
Laporan Panja Komisi VI tersebut
berisi fakta dan temuan penyimpangan di internal maupun eksternal yang
dilakukan manajemen PT. Merpati Nusantara Airlines. Penyimpangan internal yang
terungkap, misalnya, soal pengangkatan Haryo P Surjokusumo sebagai direktur
produksi dengan menggunakan titel captain penerbang. Padahal, status tersebut
tidak dapat dibuktikan. Bahkan, sejak Oktober sampai kini, yang bersangkutan
tidak diketahui lagi keberadaannya.
Penyimpangan lainnya soal
pengangkatan direktur niaga, direktur teknik, dan direktur operasi dengan
menggunakan istilah associate directors tidak sesuai dengan aturan yang
berlaku. Koordinasi antardireksi juga dinilai lemah. Selain itu, manajemen
Merpati tidak mengontrol dan tidak mengetahui secara tepat asset bernilai
tinggi di Merpati.
Sementara temuan eksternal yang
bermasalah adalah penyewaan mesin CFM56-3 (Boeing 737) ke pihak Trigana tanpa
persetujuan dari direksi. Penyewaan hanggar ke Lion Air dengan nilai di bawah
pengaturan tarif hanggar. Pesawat sekelas ATR yang terparkir per pesawat per
hari menurut SKEP adalah 330 dolar AS. Sementara manajemen menyewakannya
seharga Rp1.500.000. Begitu pula pesawat sekelas boeing disewakan hanggarnya
Rp1.500.000. Padahal, mestinya 660 dolar AS. (Sjafri Ali/A-88)***
Kasus L/C BNI dan Kepercayaan terhadap Perbankan
Sabtu, 8 November 2003
SEBELUM masa buram perbankan Indonesia
berakhir saat ini, dunia perbankan Indonesia kembali digegerkan oleh kasus
pembobolan melalui penerbitan surat kredit (letter of credit) atau L/C
fiktif senilai Rp 1,7 triliun di bank BNI.
Sayangnya, pembobolan itu terjadi
pada bank besar yang selama ini dianggap sebagai salah satu barometer dan
sekaligus bank terbesar kedua di Indonesia. Beruntung kasus tersebut segera
mendapat penanganan serius dari penegak hukum. Sebab, apabila tidak demikian,
pasti kasus itu akan menciptakan ketidakpercayaan baru terhadap dunia
perbankan. Kita berharap penanganan hukum kasus ini berjalan dengan lancar,
tidak sebagaimana kasus-kasus perbankan sebelumnya.
Tentunya kita masih belum lupa,
ketika kasus Bappindo akhirnya tidak jelas penanganannya hanya karena
melibatkan petinggi negara. Kasus L/C fiktif BNI inipun belakangan ini
disebut-sebut melibatkan capres dari salah satu partai besar di negeri ini.
Semoga; apabila isu tersebut benar, tidak menjadi penghalang untuk menyingkap
penyelewengan di BNI tersebut.
Risiko Manajemen
Dari aspek mikro dan mekanisme
perbankan, kasus pembobolan L/C BNI tersebut, memberikan pelajaran dan
peringatan yang sangat berharga akan pentingnya manajemen risiko. Mengikuti
kasus pembobolan L/C pada bank BNI tersebut, penyimpangan yang terjadi karena
lemahnya manajemen risiko operasional (operational risk management).
Risiko operasional ini dapat terjadi karena tidak berfungsi atau kurang
efektifnya proses internal. Penyimpangan demikian dapat terjadi karena
kesalahan manusia, kegagalan sistem atau karena faktor eksternal yang
memengaruhi perusahaan.
Oleh karena itu, risiko
operasional ini bersumber dari pekerja, teknologi, customer relationship,
atau faktor eksternal.
Kasus yang terjadi pada BNI
tersebut merupakan kasus yang termasuk dalam kriminal dan penipuan (crime
and fraud risk). Dengan demikian risiko yang terjadi adalah risiko karena
adanya kejahatan kerah putih (white collar crime). Artinya, kejahatan
tersebut lebih dikarenakan ketamakan dari watak manusia. Karena ini merupakan
murni kejahatan karena perilaku, seharusnya ada indikator-indikator awal sudah
harus bisa dideteksi. Peringatan dini akan efektif kalau sistem pengendalian
risiko pada bank yang bersangkutan berjalan baik.
Peringatan dini ini dapat
dilakukan dengan melihat apakah mekanisme dan prosedur yang dilakukan sudah
sesuai dengan ketentuan. Sementara dari aspek eksternal verifikasi terhadap
material prosedur juga harus dilakukan.
Dalam kasus pembobolan L/C
tersebut, semestinya kejanggalan-kejanggalan awal sudah bisa dideteksi kalau
niat menipu dari mereka yang terkait dalam kasus ini memang tidak ada. Dimulai
dari bank penerbit L/C, yang adalah bukan bank koresponden. Semestinya pejabat
BNI setempat mengetahui bahwa perlu jaminan yang lebih jelas; siapa penjamin
L/C tersebut, untuk membayar L/C jika bank penerbit L/C bukan bank koresponden.
Apakah dalam hal ini bank BNI tidak mengetahui tidak adanya jaminan atas L/C
yang diterbitkan tersebut. Apakah bank BNI juga melakukan verifikasi atas
dokumen ekspor dari eksportir dengan benar. Apakah dokumen-dokumen ekspor
tersebut relevan dan valid. Jika ternyata dokumen tersebut nantinya ternyata
dokumen ekspor palsu, semestinya pihak bank mengetahuinya.
Adanya kecenderungan niat untuk
menipu seharusnya juga dapat dilihat dari nilai L/C yang dipecah-pecah menjadi
lebih kecil dari nilai seluruhnya sekitar Rp 1,7 triliun. Dengan nilai yang
lebih kecil, maka otorisasi pencairan uang tidak harus sampai ke pejabat pada
tingkat yang lebih tinggi dari pimpinan cabang. Namun hal inipun tidak berarti
direksi juga tidak mengetahui.
Dari serangkaian prosedur
tersebut, tampak bahwa kebobolan akan terjadi setelah melalui penyimpangan-penyimpangan
prosedur dalam proses pencairan pengajuan, pemrosesan dan pencairan L/C.
Ketatnya prosedur, seharusnya akan dapat memperkecil risiko operasional. Akan
tetapi, seketat apapun prosedur itu, ia akan tetap bobol jika niat untuk menipu
itu memang cukup besar dari para pelaku yang terlibat dalam prosedur dan
mekanisme itu.
Kerisauan Baru
Kasus BNI telah menciptakan
kerisauan baru, khususnya terhadap kepercayaan terhadap perbankan. Sementara
BPPN belum mampu memulihkan kepercayaan sepenuhnya dunia perbankan, orang bisa
menjadi ragu mengingat BNI yang masuk kategori sebagai salah satu barometer
perbankan nasional pun masih bobol.
Oleh karena itu kasus BNI ini
harus dituntaskan. Jangan sampai kasus itu berhenti tanpa penyelesaian karena
pertaruhannya sangat besar, yakni menjaga kepercayaan terhadap perbankan.
Membiarkan kasus pembobolan L/C berarti membiarkan ketidakpercayaan terhadap
perbankan terus berkelanjutan. Dan jangan lupa, nyawa indusri perbankan adalah
kepercayaan nasabah terhadapnya. (82)
Penulis, Ketua Laboratorium Studi
Kebijakan Ekonomi FE Undip
Terkait Sengketa dengan Nasabah, Komisi XI Panggil Manajemen Lima Bank
10 July 2013 16:23 WIB
Beberapa kasus perbankan di
Tanah Air coba ditanggapi serius oleh Komisi XI DPR-RI, dengan memanggil
manajemen dari lima bank yang kasus atau sengketanya masih diproses atau belum
selesai.
Paulus Yoga
Jakarta–Komisi XI
DPR-RI memanggil manajemen lima bank terkait dengan kasus-kasus perbankan yang
menyebabkan sengketa antara bank dan nasabah, dan sudaxh masuk ke proses
pengadilan.
Hadir dalam rapat dengar pendapat
dengan Komisi XI di Gedung DPR, Jakarta, Rabu, 10 Juli 2013, antara lain,
Direktur Utama Bank Mega Kostaman Thayib, Direktur Utama BJB Bien Subiantoro,
Direktur Utama Bank Mestika Ahmad Kartasasmita, Direktur Kepatuhan Bank Danamon
Fransisca Oei, dan Direktur HRD Bank Permata Indri K. Hidayat. Tidak
ketinggalan, DPR turut memanggil Deputi Gubernur BI Halim Alamsyah.
“Kalau ternyata satu kasus terkait
dengan kesalahan pihak bank dan nasabah, kita lihat lagi siapa inisiator dan
siapa yang dapat manfaat. Kami hanya lihat administratif, kalau soal pidana ke
pengadilan,” tukas Halim Alamsyah.
Sementara untuk perdata, lanjutnya,
bank sentral menyediakan sarana mediasi, termasuk untuk kasus Bank Danamon yang
sudah masuk mediasi BI namun belum tercapai kesepakatan di antara kedua belah
pihak yang bersengketa.
Dalam mediasi ini, BI hanya bertindak
sebagai mediator. Adapun untuk bisa masuk dalam mediasi BI, ada syarat-syarat
yang harus dipenuhi dari sebuah sengketa bank dengan nasabah, di antaranya
pernah diupayakan penyelesaiannya oleh bank, sengketa yang diajukan tidak
sedang dalam proses atau belum pernah diputus oleh lembaga arbitrase atau
peradilan, atau belum terdapat kesepakatan, nilai tuntutan finansial yang
diajukan paling banyak sebesar Rp500 juta untuk setiap kasus sengketa, pun
tidak mengajukan tuntutan finansial yang diakibatkan oleh kerugian immateriil.
“Khusus Bank Mega ini agak rumit karena
keputusan pidana sudah ada, pegawai Bank Mega dan pegawai Elnusa dan Pemkab
Batubara semua dinyatakan bersalah. Tapi dari sisi perdata di pengadilan negeri
dan tinggi, Elnusa dimenangkan di pengadilan. Kami tidak bisa intervensi,” ucap
Halim.
Direktur Kepatuhan Bank Danamon
Fransisca Oei menjelaskan, bahwa hilangnya dana nasabah yang disimpan di Bank
Danamon cabang Depok sehubungan dengan transaksi transfer dengan menggunakan
PIN (Personal Identification Number) sejumlah Rp43,9 juta.
“Mengingat PIN sifatnya sangat rahasia
serta personal, maka diingatkan agar nasabah menjaga kerahasiaan PIN dan hal
ini sepenuhnya menjadi tanggung jawab nasabah. Segala kerugian dan risiko yang
timbul akibat kelalaian nasabah dalam merahasiakan PIN sepenuhnya menjadi beban
dan tanggung jawab nasabah,” tukasnya.
Sebelumnya, Wakil Ketua Komisi XI DPR
RI Harry Azhar Azis mengatakan, RDP tersebut membahas secara khusus mengenai
kasus-kasus perbankan yang sampai saat ini masih dalam penanganan lebih lajut
oleh Pengadilan. “Ini memang kita menyelidiki empat kasus perbankan,” ujarnya
kepada wartawan beberapa waktu lalu.
Menurutnya, kasus-kasus tersebut masih
dalam proses penyelesaian, walaupun sudah tidak lagi ditangani oleh BI
melainkan sudah menempuh jalur hukum dan tidak mengganggu operasional
masing-masing bank. Namun, ia menekankan bahwa kondisi perbankan nasional saat
ini masih sehat, yang terlihat dengan tidak adanya bank yang masuk dalam
pengawasan khusus.
Kasus-kasus perbankan yang sempat
dibahas dalam RDP tersebut antara lain, Kasus Bank Mega dengan Elnusa dengan
sengketa dana Rp111 miliar, pun kasus pembobolan uang milik Pemkab Batubara
Sumatera Utara sebesar Rp80 miliar yang raib di bank milik Chairul Tanjung
tersebut.
“Bank Mega sangat concern dengan
perlindyngan konsumen, kalau ada fraud di mana nasabah tidak terlibat tentu
kami ganti, tapi di sini beda, bahwa semua terlibat dan sudah dihukum. Sudah
di-lock di BI (escrow account) yang bisa dicairkan kalau sudah ada keputusan
hukum, atau kesepakatan kedua belah pihak,” jelas Direktur Utama Bank Mega
Kostaman Thayib. (*)
Sumber : http://www.infobanknews.com/2013/07/terkait-sengketa-dengan-nasabah-komisi-xi-panggil-manajemen-lima-bank/